Rabu, 06 Juni 2012

Dinamika Warga Bali di Eropa


Festival Budaya Bali di Taman Pairi Daiza, Belgia (Foto: kemlu)
Festival Budaya Bali di Taman Pairi Daiza, Belgia (Foto: kemlu)
MENJELANG kedatangannya di tempat pertunjukan, beberapa wanita yang berbusana tradisional Indonesia itu tampak merapikan sanggul mereka. Maklum, terbatasnya waktu membuat peserta Festival Budaya Bali tidak punya kesempatan lagi untuk berdandan di tempat pertunjukan.

Mereka pun bermufakat untuk berdandan mengenakan pakaian komplet dari rumah masing-masing, dan mereka mesti rela bangun dini hari. Maklum, mereka mesti berkumpul pada pukul 06.00 karena mesti menempuh perjalanan panjang lintas negara.

Tepat pukul 06.45 bus sewaan itu pun tancap gas meninggalkan Paris menuju negeri “tiga bahasa”, Belgia. Tepat pukul 10.45 waktu setempat, peserta Festival Budaya Bali, turun dari bus dan langsung disambut panitia Festival Budaya Bali, tepatnya di Taman Pairi Daiza. Sementara, tiga gadis berambut pirang membagikan karcis gratis tanda masuk kepada anggota rombongan, seorang pemuda yang menggunakan kostum yang bertuliskan “Pecalang Banjar Shanti Dharma Belgia”, mengatur antrean yang mulai mengular.

Pagi itu memang hari yang menggetarkan dan spesial bagi warga Bali yang bermukim di Eropa. Itu karena bukan saja mereka bisa bertemu rekan-rekan mereka yang bermukim di segenap penjuru daratan Eropa, mereka pun bertemu dengan rombongan yang terbang langsung dari Bali.

Mereka tumpah ruang di Pairi Daiza, tidak memedulikan dinginnya udara pagi kawasan tersebut. Bertempat di kawasan wisata yang menghibur para pengunjungnya dengan aneka binatang dan taman inilah gelar doa, pertunjukan musik, tari, dan pawai tradisional ogoh-ogoh digeber sebagai sarana meramaikan dan menarik minat pengunjung.

“Saya ini asli Bule Pak, alias Buleleng,” ucap Narmi, sambil merangkai bunga yang disambut gelak tawa rekan-rekannya. “Saya sudah tinggal di Belgia sejak dua tahun lalu,” imbuh wanita manis tersebut.

Wanita yang mengaku dari Buleleng itu tampak sedang merangkai bunga sesaji, sebelum gelar doa bersama dimulai. “Tahun lalu, acara seperti ini diselenggarakan pada bulan Mei dan Juni," ujar wanita tersebut.

Narmi adalah contoh sosok wanita Bali yang mengalami mobilisasi geografis lintas negara, sekaligus bergelut dengan transformasi sosial budaya Eropa. Sementara, Narmi memilih peraduan di Belgia, “Narmi-Narmi” lainnya yang mungkin datang lebih dahulu, melalang buana di “tanah perdikan” yang lain, seperti Jerman, Belanda, dan Prancis.

“Saya baru tiba dari Belanda,” ujar wanita yang mengenakan kebaya warna merah tersebut.

Sementara, pada saat antrean makan siang, tampak pemuda wajah indo dengan sabar menunggu untuk mengantre nasi bungkus yang dibagikan staf KBRI Belgia.“Kira-kira dari Jerman, ada sekitar 16 orang,” sebut pemuda tampan tersebut.

Festival Budaya Bali ini benar-benar memobilisasi, bukan hanya individu, juga famili bahkan keluarga luas sekalipun. Sehingga jangan kaget, jika Anda banyak menemukan wajah indo yang mungkin di Tanah Air akan segera diburu rumah produksi untuk dijadikan bintang sinetron.

Sudah tidak terhitung lagi, berapa banyak warga Bali yang mengalami dinamika sosial seperti yang tergambar di atas. Bali, yang pada awalnya menjadi salah daerah tujuan wisata utama warga Eropa dan Amerika, telah melahirkan dampak sertaan berupa kawin campur atau sekadar menjalin ikatan bisnis dengan warga asing.

Pada siang itu, warga Bali di Eropa hendak menyelenggarakan hajatan di kawasan wisata Pairi Daiza, yang menjadi salah satu kawasan wisata termasyhur di Eropa. Ikatan batin antarwarga Bali di Eropa, khususnya yang bermukim di sekitar Belgia, sangat kuat dengan kawasan wisata yang luasnya mencapai 55 hektare tersebut.

Terlebih, sejak tahun 2009, warga Bali khususnya yang beragama Hindu, bisa menikmati dan sekaligus bernostalgia dengan negeri leluhur dengan menggunakan pura yang dibangun di atas kawasan seluas 4 hektare tersebut— bagian dari Kingdom of Ganesha.

Adam Darnadi
kontributor SINDO di Prancis

(SINDO//ftr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar